SAJAK
Kata sajak dikenal dalam kesusastraan Indonesia. Penggunaan istilah ini sering
dicampuradukkan dengan puisi. Padahal, puisi berasal dari bahasa Belanda, dari
kata poezie. Dalam bahasa Belanda, dikenal dengan istilah gedicht.
Dalam bahasa Indonesia (Melayu) hanya dikenal istilah ini mengandung arti
poezie maupun gedicht sekaligus. Istilah puisi cenderung digunakan untuk
berpasangan dengan istilah prosa, seperti istilah poetry dalam bahasa Inggris
yang dianggap sebagai salah satu nama jenis sastra.
Dengan demikian, istilah ini lebih bersifat khusus, individunya, sedangkan
puisi lebih bersifat general, jenisnya.
Sajak adalah puisi, tetapi tidak sebaliknya. Puisi bisa saja terdapat dalam
prosa seperti cerpen, novel, atau esai, sehingga orang sering mengatakan bahwa
kalimat-kalimatnya puitis (bersifat puisi). Menurut Putu Arya Tirtawirya, puisi
menjadi suatu pengungkapan secara implisit, samar, dengan makna yang tersirat,
dimana kata-kata condong pada artinya yang konotatif.
Sajak memiliki makna lebih luas. Tidak sekadar hal yang tersirat, tetapi sudah
menyangkut materi isi puisi, bahkan sampai pada efek yang ditimbulkan, seperti
bunyi. Karenanya, ia terkadang juga dimaknai sebagai bunyi. Pada hakekatnya, ia
mengundang kata berasosiasi. Tidak berinterpretasi, bertafsir-tafsir.
Bagi Subagio Sastrowardoyo, ia adalah apa yang lahir setelah ‘malam yang hamil
oleh benihku. Adalah bayi yang dicampakkan ke lantai bumi. Sajak seperti anak
haram tanpa ibu membawa dosa pertama di keningnya.
Sedangkan Subagio Sastrowardoyo berpendapat bahwa sajak berguna untuk
mengingatkan kita pada kisah dan keabadian. Melupakan kepada pisau dan tali.
Melupakan kepada bunuh diri.
Sajak bagi Chairil adalah alamat kemana ia menuju setelah lari dari gedong
lebar halaman, dan ketika tersesat tak dapat jalan.
Sajak bagi Goenawan Mohamad adalah catatan kita bagi dingin yang tak tercatat
pada termometer. Ketika kota basah, angin mengusir kita di sepanjang sungai,
tapi kita tetap saja di sana. Mengamati, mencatat. Seakan gerimis raib dan kita
saksikan cahaya berenang mempermainkan warna. Ia adalah ketika kita merasakan
bahagia meski tak tahu kenapa.
Tema tentang sajak, baik tersurat guratnya atau hanya tersirat seratnya, atau
bahkan cuma bisa kita tafsirkan saja salah satunya, hampir selalu ada ditulis
oleh setiap penyair. Mungkin ini sebagai wujud kekariban. Atau persembahan
untuk ia sendiri.
Ketika menggubah sajak, maka juga terkandung makna hidup yang dihayati oleh
penyair. Ya, karena ia adalah kehidupan. Keduanya sangat dekat. Keduanya saling
ada di dalam keduanya: ia ada dalam kehidupan dan kehidupan ada didalamnya. Ia
adalah alat yang bisa sangat bermanfaat untuk merumuskan rumit dan samarnya
kehidupan.
Sitok Srengenge, menerjemahkan apa peran sajak dan penyair bagi hidupnya dan
kehidupan manusia. Sebenarnya selalu ada yang puisi dalam segala sesuatu yang
bukan puisi. Dan peran luhur kepenyairan bisa dijalankan oleh siapa saja yang
bukan penyair.
Sebaliknya penyair yang mengaku paling penyair pun bisa saja menempuh jalan
lenceng: keluar dari jalur luhurnya, tak lagi menjadi dan menjadikan rahasia
dalam kata, tak lagi menjelma dan menjelmakan tanda atas fana.
MENGENAL DAN PEMAHAMAN KATA PANTUN
Pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam
bahasa-bahasa Nusantara, pada umumnya terdiri atas empat baris yang bersajak
bersilih dua-dua (pola ab-ab), dan biasanya tiap baris terdiri atas empat
perkataan.
Kata ini mempunyai arti ucapan yang teratur, pengarahan yang mendidik, namun
juga bisa berarti sindiran.
Dalam bahasa Jawa, biasa dikenal dengan nama parikan dan dalam bahasa Sunda
dikenal sebagai paparikan. Pada mulanya ia merupakan sastra lisan, namun
sekarang dijumpai juga bentuk yang tertulis.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah
dua baris pertama, yang seringkali berkaitan dengan alam (mencirikan budaya
agraris masyarakat pendukungnya). Dua baris terakhir merupakan isi, yang
merupakan tujuan dari dibuatnya karya sastra ini.
Karya sastra ini dinilai baik jika terdapat hubungan makna tersembunyi dalam
sampiran, biasa disebut pantun sempurna atau penuh. Sedangkan pada yang kurang
baik, hubungan tersebut semata-mata hanya untuk keperluan persamaan bunyi, dan
disebut tak penuh atau tak sempurna.
Karena sampiran dan isi sama-sama mengandung makna yang dalam (berisi), maka
kemudian dikatakan, “sampiran dapat menjadi isi, dan isi dapat menjadi
sampiran.”
Pantun yang sering dipakai berisi dua baris dan empat baris. Karmina dan
talibun merupakan bentuk turrunannya, karena memiliki bagian sampiran dan isi.
Karmina merupakan versi pendek (hanya dua baris), sedangkan talibun adalah
versi panjang (enam baris atau lebih).
Pantun adalah genre sastra tradisional yang paling dinamis, karena dapat
digunakan pada situasi apapun. Dalam kehidupan masyarakat Melayu sehari-hari,
ini termasuk jenis sastra lisan yang paling populer.
Penggunaannya hampir merata di setiap kalangan: tua-muda, laki-laki-perempuan,
kaya miskin, pejabat-rakyat biasa dan sebagainya. Dalam praktiknya, ia
diklasifikasi ke dalam beberapa jenis yaitu, Nasihat, Berkasih Sayang, Suasana
Hati, Pembangkit Semangat, Kerendahan Hati, Pujian, Teka-teki, Terhadap
Perempuan, dan Jenaka.
Pantun juga berfungsi sebagai bentuk interaksi yang saling berbalas, baik itu
dilakukan pada situasi formal maupun informal. Pada masyarakat Melayu mengalir
berdasarkan tema apa yang tengah diperbincangkan.
Ketika seseorang mulai mengucapkan karya sastra ini, maka rekan lainnya
berbalas dengan tetap menjaga tali perbincangan. Pada situasi formal, digunakan
ketika meminang atau pembukaan sebuah pidato, sedangkan pada situasi informal
seperti perbincangan antar rekan sebaya.
Berikut tips dalam menulis pantun :
1. Tentukan tema dan isi
2. Pilih dan tuliskan baris kaliamat yang akan Anda jadikan sampiran, dengan
mempertimbangkan jumlah suku kata tiap baris dan persajakannya. Jumlah suku
kata dalam satu baris/kalimat terdiri atas 8-12 suku kata. Persajakan sampiran
adalah A-B.
3. Tuliskan baris kalimat yang merupakan isi pantun dengan mempertimbangkan
jumlah suku kata tiap baris dan persajakannya. Jumlah suku kata dalam satu
baris/kalimat terdiri atas 8-12 suku kata. Persajakan sampiran adalah A-B.
Pengungkapan isi harus memiliki keselarasan bunyi dengan sampiran.
PENGERTIAN DAN PEMAHAMAN KATA PUISI DAN PENGERJAANNYA
Puisi adalah susunan kata yang indah, bermakna, dan terikat konvensi (aturan)
serta unsur-unsur bunyi. Ciri umumnya adalah bahasa yang padat, penuh metafor.
Biasanya, ini dijadikan sebagai media untuk mencurahkan perasaan, pikiran,
pengalaman, dan kesan terhadap suatu masalah, kejadian, dan kenyataan di
sekitar kita.
Siapapun bisa menulis puisi dengan berbagai cara dan dapat dilakukan kapan
saja. Biasanya kepekaan hati memiliki peran penting disini. Maka, bentuk
tulisan ini juga sering diartikan sebagai ekspresi hati.
Berikut tahapan dalam membuat puisi:
1. Pencarian ide
Kumpulkan atau gali informasi melalui membaca, melihat, dan merasakan terhadap
kejadian atau peristiwa, pengalaman (pribadi), social (masyarakat), ataupun
universal (kemanusiaan dan ketuhanan).
2. Perenungan
Memilih atau menyaring informasi (masalah, tema, ide, gagasan) yang menarik
dari ide yang didapat. Kemudian memikirkan, merenungkan, dan menafsirkan sesuai
dengan konteks, tujuan, dan pengetahuan yang dimiliki.
3. Penulisan
Inilah proses yang paling rumit, mengerahkan energi kreatif (kemampuan daya
cipta), intuisi, dan imajinasi(peka rasa dan cerdas membayangkan), serta
pengalaman dan pengetahuan. Untuk itulah, tahap penulisan hendak mencari dan
menemukan kata ataupun kalimat yang tepat, singkat, padat, indah, dan
mengesankan. Hasilnya kata-kata tersebut menjadi bermakna, terbentuk, tersusun,
dan terbaca sebagai puisi.
4. Perbaikan atau revisi
Baca kembali karya yang telah Anda ciptakan. Ketelitian dan kejelian untuk
mengoreksi rangkaian kata, kalimat, baris, bait, sangat dibutuhkan. Kemudian,
mengubah, mengganti, atau menyusun kembali setiap kata atau kalimat yang tidak
atau kurang tepat.
Biasanya, proses revisi atau perbaikan ini memakan waktu lama, hingga puisi
tersebut telah dianggap jadi dan tidak lagi dapat diubah atau diperbaiki oleh
penulisnya.
Untuk mahir berpuisi, maka Anda harus terbiasa dan akrab dengan kegiatan
membaca. Apapun yang Anda baca, Anda harus melahapnya dalam porsi lebih. Hal
ini untuk memunculkan kreatifitas pandang pikir.
Selain itu, Anda juga harus mampu membaca segala yang tersurat dan tersirat
dalam kehidupan ini. Baik itu kejadian-kejadian dalam hidup dan kehidupan
sehari-hari, membaca keadaan diri Anda (pengalaman dan cara pandang).
Singkatnya, Anda harus mampu menemukan hal-hal yang menjadi inspirasi dan
kekuatan Anda dalam berkarya dari manapun sumbernya.
Biasakan pula diri Anda membaca kritik-kritik puisi yang ada. Hal ini mampu
membangun apresiasi dengan baik.
Setidaknya dengan membaca sebuah kritik karya, Anda akan akan mampu melihat
sebuah kelemahan dan keunggulan karya yang dikritik itu sehingga memperkaya
wawasan Anda dalam menulis.
Hal penting lainnya adalah menulis. Meski ada beberapa cara, namun Anda tidak
perlu terlalu terikat pada aturan. Anda bebas menulis apa saja sesuai keinginan
hati, baru kemudian melakukan pengeditan.
Untuk berlatih, Anda juga bisa melakukan teknik “copy the master”, yaitu dengan
memenggal sebagian puisi yang berirama lalu kita lanjutkan dengan tulisan Anda
sendiri. Cara ini sangat efektif untuk mengasah kemampuan menulis Anda.
Hal yang tidak kalah penting adalah banyak berlatih dan tidak terpaku pada satu
gaya penulisan. Sering-seringlah berlatih, melakukan diskusi atau membahas
karya bersama penikmat dan pemerhati karya sastra, dan menyempurnakan
karya-karya tulisan Anda, maka kemampuan Anda dalam berpuisi akan semakin
terasah dengan baik. Selamat mencoba teman teman!!!
PEMAHAMAN SYAIR YANG LEBIH DALAM
Syair merupakan puisi atau karangan dalam sastra melayu lama, dengan bentuk
terikat yang mementingkan irama sajak.
Kata ini berasal dari bahasa Arab, yaitu syu’ur, yang berarti perasaan. Dari
kata syu’ur, kemudian muncul kata syi’ru, yang berarti puisi dalam pengertian
umum.
Dalam kesusasteraan Melayu, kata ini merujuk pada pengertian puisi secara umum.
Namun, dalam perkembangannya, ia mengalami perubahan dan modifikasi sehingga
menjadi khas Melayu, dan tidak lagi mengacu pada tradisi sastra di negeri Arab.
Syair bukanlah kumpulan kata yang asal saja dan tidak memiliki makna. Justru,
ia hadir membawa makna isi yang berhubung dengan kias ibarat, sindiran,
nasihat, pengajaran, agama dan juga berisikan sejarah atau dongeng.
Adapun ciri-ciri Syair adalah sebagai berikut:
1. Merupakan puisi terikat.
2. Umumnya terdiri dari empat baris, agak mirip dengan pantun. Perbedaannya
adalah, empat baris pantun merupakan dua baris sampiran dan dua baris isi yang
berdiri sendiri. Sedangkan bait syair merupakan bagian dari sebuah cerita yang
panjang.
3. Jumlah kata dalam satu baris tetap, yaitu 4-5 kata satu baris
4. Jumlah suku kata dalam satu baris juga tetap, yaitu antara 8-12 suku kata
dalam satu baris
5. Rima akhir juga tetap yaitu a/a/a/a. Ada juga yang memiliki rima a/b/a/b,
tiga baris dengan rima akhir a/a/b, dan dua baris dengan rima a/b, namun ketiga
bentuk syair terakhir tidaklah popular.
Jika Anda bertanya siapa penyair yang berperan besar dalam membentuk syair khas
Melayu, maka dia adalah Hamzah Fansuri. Karya yang sudah dihasilkan antara
lain: Perahu, Burung Pingai, Dagang, dan Sidang Fakir.
Dari namanya, orang Melayu mengenali syair seiring dengan penetrasi dan
perkembangan ajaran Islam, terutama tasawuf di Indonesia. Bentuk berbahasa Arab
yang tercatat paling tua di negeri ini adalah catatan di batu nisan Sultan
Malik al-Saleh di Aceh, bertarikh 1297 M.
Sedangkan yang berbahasa Melayu yang tertua adalah syair di prasasti Minye
Tujoh, Aceh, Indonesia bertarikh 1380 M (781 H). Didalamnya, bahasa Melayu
masih bercampur dengan bahasa Sansekerta dan Arab.
Sedangkan dari segi jumlah, syair diperkirakan menempati posisi kedua setelah
pantun. Artinya, bentuk sastra ini sangat populer pada masyarakat Melayu. Dari
segi cara penceritaan, ia bisa diklasifikasi menjadi dua, yaitu naratif dan
yang non naratif. Berdasarkan isi dan tema, bentuk naratif bisa dibagi kembali
menjadi 4 jenis yaitu:
1. Romantic, sebagai contoh: Bidasari
2. Sejarah, sebagai contoh: Perang Makassar, Perang Banjar
3. Keagamaan, sebagai contoh: Nur Muhammad
4. Kiasan, sebagai contoh: Ikan Terubuk
Sedangkan syair non-naratif terbagi kembali menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Agama
2. Nasihat
3. Di luar tema-tema tersebut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar