Sebagai mata pelajaran di sekolah, Pendidikan Kewarganegaraan telah
mengalami perkembangan yang fluktuatif, baik dalam kemasan maupun
substansinya. Hal tersebut dapat dilihat dalam substansi kurikulum PKn
yang sering berubah dan tentu saja disesuaikan dengan kepentingan
negara.
Secara historis, epistemologis dan pedagogis, pendidikan kewarganegaraan
berkedudukan sebagai program kurikuler dimulai dengan
diintroduksikannya mata pelajaranCivics dalam kurikulum SMA tahun 1962
yang berisikan materi tentang pemerintahan Indonesia berdasarkan
Undang-Undang Dasar 1945 (Dept. P&K: 1962). Pada saat itu, mata
pelajaran Civicsatau kewarganegaraan, pada dasarnya berisikan pengalaman
belajar yang digali dan dipilih dari disiplin ilmu sejarah, geografi,
ekonomi, dan politik, pidato-pidato presiden, deklarasi hak asasi
manusia, dan pengetahuan tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa (Somantri,
1969:7). Istilah Civicstersebut secara formal tidak dijumpai dalam
Kurikulum tahun 1957 maupun dalam Kurikulum tahun 1946.
Namun secara materiil dalam Kurikulum SMP dan SMA tahun 1957 terdapat
mata pelajaran tata negara dan tata hukum, dan dalam kurikulum 1946
terdapat mata pelajaran pengetahuan umum yang di dalamnya memasukkan
pengetahuan mengenai pemerintahan.
Kemudian dalam kurikulum tahun 1968 dan 1969 istilah civics dan
Pendidikan Kewargaan Negara digunakan secara bertukar-pakai
(interchangeably). Misalnya dalam Kurikulum SD 1968 digunakan istilah
Pendidikan Kewargaan Negara yang dipakai sebagai nama mata pelajaran,
yang di dalamnya tercakup sejarah Indonesia, geografi Indonesia, dan
civics (d iterjemahkan sebagai pengetahuan kewargaan negara). Dalam
kurikulum SMP 1968 digunakan istilahPendidikan Kewargaan Negara yang
berisikan sejarah Indonesia dan Konstitusi termasuk UUD 1945. Sedangkan
dalam kurikulum SMA 1968 terdapat mata pelajaran Kewargaan Negara yang
berisikan materi, terutama yang berkenaan dengan UUD 1945.
Sementara itu dalam Kurikulum SPG 1969 mata pelajaran Pendidikan
Kewargaan Negara yang isinya terutama berkenaan dengan sejarah
Indonesia, konstitusi, pengetahuan kemasyarakatan dan hak asasi manusia
(Dept. P&K: 1968a; 1968b; 1968c; 1969). (Winataputra, 2006 : 1).
Secara umum mata pelajaran Pendidikan Kewargaan Negara membahas tentang
nasionalisme, patriotisme, kenegaraan, etika, agama dan kebudayaan
(Somantri, 2001:298)
Pada Kurikulum tahun 1975 istilah Pendidikan Kewargaan Negara diubah
menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila
sebagaimana diuraikan dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila atau P4. Perubahan ini sejalan dengan missi pendidikan yang
diamanatkan oleh Tap. MPR II/MPR/1973.
Mata pelajaran PMP ini merupakan mata pelajaran wajib untuk SD, SMP,
SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan. Mata pelajaran PMP ini terus
dipertahankan baik istilah maupun isinya sampai dengan berlakunya
Kurikulum 1984 yang pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari Kurikulum
1975 (Depdikbud: 1975 a, b, c dan 1976). Pendidikan Moral Pancasila
(PMP) pada masa itu berorientasi pada value inculcation dengan muatan
nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 (Winataputra dan Budimansyah,
2007:97)
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistim
Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya muatan kurikulum Pendidikan
Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan, sebagai bahan kajian wajib
kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39),
Kurikulum Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah tahun 1994
mengakomodasikan misi baru pendidikan tersebut dengan memperkenalkan
mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan atau PPKn.
Berbeda dengan kurikulum sebelumnya, Kurikulum PPKn 1994
mengorganisasikan materi pembelajarannya bukan atas dasar rumusan
butir-butir nilai P4, tetapi atas dasar konsep nilai yang disaripatikan
dari P4 dan sumber resmi lainnya yang ditata dengan menggunakan
pendekatan spiral meluas atau spiral of concept development(Taba,1967).
Pendekatan ini mengartikulasikan sila-sila Pancasila dengan jabaran
nilainya untuk setiap jenjang pendidikan dan kelas serta catur wulan
dalam setiap kelas.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) pada masa ini
karakteristiknya didominasi oleh proses value incucation dan knowledge
dissemination. Hal tersebut dapat lihat dari materi pembelajarannya
yang dikembangkan berdasarkan butir-butir setiap sila Pancasila.
Tujuan pembelajarannya pun diarahkan untuk menanamkan sikap dan prilaku
yang beradasarkan nilai-nilai Pancasila serta untuk mengembangkan
pengetahuan dan kemampuan untuk memahami, menghayati dan meyakini
nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman dalam berprilaku sehari-hari
(Winataputra dan Budimansyah, 2007:97).
Dengan dberlakukannya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20
tahun 2003, diberlakukan kurikulum yang dikenal dengan nama Kurikulum
berbasis Kompetensi tahun 2004 dimana Pendidikan Kewarganegaraan berubah
nama menjadi Kewarganegaraan. Tahun 2006 namanya berubah kembali
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan, dimana secara substansi tidak
terdapat perubahan yang berarti, hanya kewenangan pengembangan kurikulum
yang diserahkan pada masing-masing satuan pendidikan, maka kurikulum
tahun 2006 ini dikenal denganKurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Berbagai perubahan yang dialami dalam pengimplementasian PKn sebagaimana
diuraikan diatas menunjukkan telah terjadinya ketidakajekan dalam
kerangka berpikir, yang sekaligus mencerminkan telah terjadinya krisis
konseptual, yang berdampak pada terjadinya krisis operasional kurikuler.
Secara Konseptual istilah Pendidikan Kewarganegaraan dapat terangkum sebagai berikut :
(a) Kewarganegaraan (1956)
(b) Civics (1959)
(c) Kewarganegaraan (1962)
(d) Pendidikan Kewarganegaraan (1968)
(e) Pendidikan Moral Pancasila (1975)
(f) Pendidikan Pancasila Kewarganegaraan (1994)
(g) Pendidikan Kewarganegaraan (UU No. 20 Tahun 2003)
Dari penggunaan istilah tersebut sangat terlihat jelas ketidakajegannya
dalam mengorganisir pendidikan kewarganegaraan, yang berakibat pada
krisis operasional, dimana terjadinya perubahan konteks dan format
pendidikannya. Menurut Kuhn (1970) krisis yang bersifat konseptual
tersebut tercermin dalam ketidakajekan konsep atau istilah yang
digunakan untuk pelajaran PKn. Krisis operasional tercermin terjadinya
perubahan isi dan format buku pelajaran, penataran yang tidak
artikulatif, dan fenomena kelas yang belum banyak dari penekanan pada
proses kognitif memorisasi fakta dan konsep.
Kedua jenis krisis tersebut terjadi karena memang sekolah masih tetap
diperlakukan sebagai socio-political institution, dan masih belum
efektifnya pelaksanaan metode pembelajaran secara konseptual, karena
belum adanya suatu paradigma pendidikan kewarganegaraan yang secara ajeg
diterima dan dipakai secara nasional sebagai rujukan konseptual dan
operasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar