16 Agustus 1945. Pagi-pagi buta, sekitar pukul 04.30
WIB, sekelompok pemuda revolusioner membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke
Rengasdengklok, Jawa Barat. Di sana Bung Karno, Bung Hatta, dan pemuda
merundingkan Proklamasi Kemerdekaan.
Menurut versi sejarah resmi, peristiwa itu adalah aksi pemuda
“menculik” Bung Karno dan Bung Hatta. Kejadian itu, katanya, merupakan
buntut dari silang pendapat antara golongan tua versus muda mengenai Proklamasi Kemerdekaan.
Dalam versi sejarah resmi dikatakan, golongan tua terlalu kompromis
dan hanya menunggu hadiah kemerdekaan dari Jepang. Sebaliknya, golongan
muda menginginkan proklamasi segera dilakukan dan tidak rela kemerdekaan
sebagai hadiah dari Jepang.
Bung Karno dan Bung Hatta dianggap representasi golongan tua.
Sementara di golongan pemuda ada nama-nama seperti Sukarni, Wikana,
Chaerul Saleh, Aidit, Sidik Kertapati, Darwis, Suroto Kunto, AM Hanafie,
Djohar Nur, Subadio, dan lain-lain.
Saya pikir, ada beberapa hal yang janggal dari penjelasan sejarah ini. Dengan penggunaan kata “penculikan”,
saya membayangkan pengambilan paksa dan penghilangan kemerdekaan si
bersangkutan. Yang jadi pertanyaan, benarkah Bung Karno dan Bung Hatta
dibawa paksa dan kehilangan kemerdekaannya?
Saya membaca buku Sidik Kertapati, Seputar Proklamasi 17 Agustus 1945.
Sidik Kertapati adalah seorang aktor dari peristiwa itu. Dalam
penjelasannya, Sidik Kertapati jelas-jelas menggunakan istilah
“pengamanan tokoh nasional”. Menurutnya, Bung Karno dan Bung Hatta
dibawa keluar kota agar mereka terhindar dari Jepang dalam membicarakan
tugas mereka yang historis, yakni Proklamasi Kemerdekaan.
Kenapa Rengasdengklot? Karena daerah itu sejak lama sudah menjadi
pusat gerakan anti-fasis. Di sana, kata Kertapati, adan kelompok
anti-fasis bernama “Sapu Mas”, yang dipimpin oleh seorang perwira PETA,
Syudanco Umar Bahsan.
Kalau kita baca kronologi versi Sidik Kertapati, ketika pemuda
berupaya membawa Bung Karno dan Bung Hatta keluar kota, tidak ada
pemaksaan dan penghilangan kemerdekaan. Ketika itu, sekitar pukul 04.00
WIB, Bung Karno masih tertidur di kediamannya di Pegangsaan Timur 56
Cikini. Ia dibangunkan oleh Chaerul Saleh.
“Keadaan sudah memuncak. Kegentingan harus diatasi,” ujar Chaerul
Saleh kepada Bung Karno. “Orang-orang Belanda dan Jepang sudah bersiap
menghadapi kegentingan itu. Keamanan Jakarta tidak bisa ditanggung lagi
oleh pemuda dan karena itu supaya Bung Karno bersiap berangkat keluar
kota,” tambahnya.
Ketika Bung Karno dan rombongan tiba di Rengasdengklot, para pemuda
PETA menyambut dengan pekik “Hidup Bung Karno!”, “Indonesia Sudah
Merdeka!”, dan lain-lain. Artinya, kalau penculikan, tak mungkin ada
penyambutan seperti itu.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, ada pertemuan di Asrama Baperki (Badan
Perwakilan Pelajar Indonesia) di Tjikini 71. Sejumlah tokoh pemuda
hadir, seperti Chaerul Saleh, Wikana, Aidit, Djohan Nur, Subadio, Suroto
Kunto, dan lain-lain.
Hasil pertemuan itu: Kemerdekaan Indonesia harus dinyatakan melalui
Proklamasi. Putusan tersebut akan disampaikan kepada Bung Karno dan Bung
Hatta agar mereka atas nama Rakyat Indonesia menyatakan proklamasi
kemerdekaan itu. Artinya, para pemuda menginginkan agar Proklamasi
dinyatakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama Bangsa Indonesia.
Dalam pertemuan itu juga, seperti diungkapkan Sidik Kertapati, Aditi
mengusulkan agar Bung Karno ditetapkan sebagai Presiden pertama Republik
Indonesia.
Rapat itu kemudian mengutus Wikana, Aidit, Subadio, dan Suroto Kunto
untuk menemui Bung Karno di kediamannya. Wikana bertindak sebagai Jubir
pemuda. Utusan pemuda itu mendesak Bung Karno agar menyatakan Proklamasi
Kemerdekaan pada tanggal 16 Agustus 1945.
Menanggapi permitaan pemuda, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya
tidak bisa mengambil keputusan sendiri. Ia meminta diberi kesempatan
untuk berunding dengan pemimpin lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan.
Perundingan antar tokoh pemimpin berlangsung saat itu juga. Beberapa
saat kemudian, Bung Hatta keluar menemui pemuda untuk menyampaikan hasil
perundingan, bahwa usul para pemuda tidak bisa diterima karena dianggap
kurang perhitungan dan akan memakan banyak korban jiwa.
Muncul pertanyaan lain: apakah bila Bung Karno menolak usulan pemuda,
lantas niat proklamasi terhenti juga? Sidik Kertapati memberi jawaban.
Menurutnya, kemungkinan tidak ikut sertanya Bung Karno dan Bung Hatta
dalam aksi kemerdekaan sudah diperhitungkan. Sebagai alternatifnya:
Proklamasi akan dilakukan melalui Presidium Revolusi. Artinya, para
pemuda sudah punya Plan B. Hanya saja, memang, rencana sangat
memungkinkan dengan aksi revolusioner dan kekuatan senjata.
Namun, justu dengan adanya penolakan awal oleh Bung Karno dan Bung
Hatta terhadap proposal pemuda dan juga adanya plan B, saya
berkesimpulan bahwa keputusan membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke
Rengasdengklot adalah upaya pengamanan. Meskipun, pada kenyataannya,
proses diskusi dan perdebatan antara pemuda dan Bung Karno masih
berlanjut di Rengasdengklot.
Versi Sidik Kertapati ini mirip dengan penjelasan Aidit. Juga
pernyataan Jusuf Kunto, anggota PETA yang terlibat peristiwa itu. Kepada
Mr Subardjo, Yusuf Kunto mengatakan, bahwa alasan mereka membawa Bung
Karno dan Hatta adalah karena rasa kekhawatiran bahwa mereka akan
dibunuh oleh pihak Angkatan Darat Jepang atau paling sedikitnya
dipergunakan sebagai sandera kalau kerusuhan timbul. Maklum, kata Yusuf
Kunto, pada tanggal 16 Agustus 1945, pemudan dan PETA merencanakan
melaksanakan aksi revolusi.
Dari cerita di atas, saya berusaha mengambil beberapa kesimpulan.
Pertama, inisiatif pemuda membawa Bung Karno dan Bung Hatta ke
Rengasdengklot bukanlah penculikan, melainkan pengamanan. Alasannya,
pada tanggal 16 Agustus itu, pemuda merencanakan “Aksi Revolusi” untuk
memproklamasikan kemerdekaan. Memang, pada kenyataannya, aksi revolusi
itu tidak terjadi.
Kedua, perbedaan antara Bung Karno dan pemuda adalah soal kemerdekaan
adalah soal cara. Bung Karno menginginkan Proklamasi Kemerdekaan tetap
melalui jalur aman, yakni PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia), demi menghindari pertumpahan darah dan jatuhnya korban di
kalangan rakyat Indonesia. Sedangkan pemuda menghendaki jalur aksi
revolusi, yakni proklamasi kemerdekaan di tengah-tengah massa rakyat.
Proklamasi Kemerdekaan dilakukan tanggal 17 Agustus 1945 di kediaman
Bung Karno di Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Proklamasi itu dibacakan oleh
Bung Karno atas nama Bangsa Indonesia. Bukan oleh PPKI—sesuai dengan
keinginan pemuda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar